Sabtu, 24 Oktober 2015

Sejarah Perkembangan Masa Prakodifikasi Hadits



MAKALAH
STUDI HADITS
 “MASA PRA KODIFIKASI
 



Dosen Pengampu :
Mahbub Junaidi, S.Th.I., M.Th.I.

Di susun oleh:
Kelompok IV

1.      Fatimatuz Zahrotin Nisa’
2.      Musfirotul Ullya
3.      Rafidatul Mu’izzah



EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
2015/2016



KATA PENGANTAR

Puji syukur  kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya  sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dalam bidang studi hadits yang bertemakan “Masa Pra Kodifikasi”
Pembuatan makalah ini akan membantu para mahasiswa yang ingin mengetahui proses perkembangan masa pra kodifikasi yang meliputi masa Rasululullah SAW,  Khulafaur Rasyidin, dan Tabi’in.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan baik dari segi penulisan, isi dan sebagainya. Maka dari itu kami memerlukan kritik dan saran sebagai bahan perbaikan dalam pemuatan makalah yang akan datang.
Atas semua ini kami mengucapkan terimakasih bagi segala pihak terutama kepada Bapak M. Afif Hasbullah SH., S.Ag., selaku Rektor UNISDA, kepada Bapak Mahbub Junaidi S.Th.I M.Th.I selaku Dosen Pengampu mata kuliah Ulumul Hadits, dan tak lupa kepada teman-teman yang mendukung dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca makalah ini.Khususnya bagi mahasiswa-mahasisiwi Fakultas Agama Islam. Dan  untuk meningkatkan pengetahuan dan pengembangan keterampilan kependidikan demi terciptanya generasi yang  professional dan unggul.








BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG
Islam mengenalduasumber primer dalamperundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dankedua al-Hadits. Terdapat perbedaan yang signifikan pada sisteminventarisasisumbertersebut. Al-Qur’an sejakawalditurunkansudahadaperintahpembukuannyasecararesmi, sehinggaterpeliharadarikemungkinanpemalsuan. Berbedadenganhadits, takadaperlakuankhusus yang bakupadanya, sehinggapemeliharaannyalebihmerupakanspontanitasdaninisiatif para sahabat.
Haditspadaawalnyahanyalahsebuahliteratur yang mencakupsemuaucapan, perbuatan, danketetapanNabi Muhammad SAW. PersetujuanNabi yang tidakdiucapkanterhadap orang-orang padazamannya, dangambaran-gambarantentangpribadiNabi. Mula-mulahaditsdihafalkandansecaralisandisampaikansecaraberkesinambungandarigenerasikegenerasi.
SetelahNabiwafatpadatahun 10 H., islammerasakankehilangan yang sangatbesar. Nabi Muhammad SAW. Yang dianggapsebagai yang memilikiotaritasajaranislam, dengankematiannyaumatmerasakanotoritas. Hanya Al-Qur’an satu-satunyasumberinformasi yang tersediauntukmemecahkanberbagaipersoalan yang muncul di tengah-tengahumatislam yang masihmudaitu, wahyu-wahyuilahi, meskipunsudahdicatat, belumdisusundenganbaik, danbelumdapatdiperolehatautersediasecaramateriilketikaNabiMuahammad SAWwafat. Wahyu-wahyudalam Al-Qur’an yang sangatsedikitsekalimengandungpetunjuk yang praktisuntukdijadikanprinsippembimbing yang umumdalamberbagaiaktivitas. Khalifah-khalifahawalmembimbingkaummuslimdengansemangatNabi, meskipunterkadangbersandarpadapenilaianpribadimereka. Namun, setelahbeberapa lama, ketikamunculkesulitan-kesulitan yang tidakdapatlagimerekapecahkansendiri, merekamulaimenjadikansunnah, seperti yang merupakankebiasaanperilakuNabisebagaiacuandancontohdalammemutuskansuatumasalah. Sunnah yang hanyaterdapatdalamhafalan-hafalansahabattersebutdijadikansebagaibagiandarireferensipentingsetelah Al-Qur’an. Bentuk-bentukkumpulanhafalaninilah yang kemudiandisebutdenganhadits.
B.  RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan sejarah perkembangan hadits ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits nabi ?
3.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Nabi?
4.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Besar (al-Khulafa’ al-Rasyidin?
5.      Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Kecil danTabi’in?

C.  TUJUAN PENULISAN
1.      Mengetahuipengertiansejarahperkembanganhadits
2.      Mengetahuisejarahperkembanganhaditsnabi
3.      Mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Nabi
4.      Mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Besar (al-Khulafa’ al-Rasyidin
5.      Mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Kecil dan Tabi’in



BAB II
PEMBAHASAN

A.  PENGERTIAN SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW. meneliti dan membina hadits.

B.  SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Berdasarkan referensi yang kami dapat dalam buku pengantar studi hadits sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi dapat diklasifiksikan dalam beberapa periode. T. Muhammad Hasbi ash Shiddieqy membaginya menjadi tujuh periode, yaitu
1.      Hadits pada masa Nabi
2.      Hadits pada masa Sahabat Besar (Khulafa’ al Rasyidin)
3.      Hadits pada masa sahabat kecil dan Tabi’in
4.      Hadits pada masa Kodifikasi
5.      Hadits pada masa awal-akhir abad III H
6.      Hadits pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya Baghdad tahun 656 H)
7.      Hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang

C.  HADITS PADA MASA NABI
Masa Nabi SAW dikenal dengan ‘Ashr al-wahy wa al-takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa ini wahyu masih turun dan masih banyak hadist-hadits Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat menyadari betapa penting kedudukan hadits Nabi dalam Agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.[1]
       Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi baik yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan hal-hal pribadi telah terjadi semenjak awal islam. Sebagai figur, Nabi menjadi pusat perhatian, dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai syariat Allah yang hampir semua perkataan dan perilakunya bermuatan hukum,[2] kecuali sebagian yang terkait dengan urusan duniawi. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah-tengah kesibukan mereka memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan menelaah secara kritis hadits-hadits yang mereka terima.[3] Jika terjadi persoalan yang menyangkut kebenaran hadits yang mereka terima, mereka dapat langsung mengecek kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul dan bermuamalah dengan mereka, sehingga bila terjadi kesalahan penukilan, kekeliruan pengucapan, atau kekurangpahaman terhadap makna teks hadits, dapat dirujuk pada Nabi.
Ada beberapa teknik atau cara yang ditempuh Nabi dalam menyampaikan hadits kepada para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Cara tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Melalui majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membina para jamaah. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya. Periwayatan hadits melalui majlis ini dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan dimajlis ini.[4]
2.    Dalam banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
3.    Untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
4.    Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika futuh mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan khatbah sejarah didepan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persahabatan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas.
5.    Melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam.
Pada masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadits adalah dengan ingatan mereka. Menurut Abdal-Nahsr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadits, syair, dan lain-lain dengan baik. Seakan mereka membaca dari buku.
Untuk memelihara kemurnian kedua sumber ajaran agama islam, yakni al-Qur’an dan Hadits, Rasulullah memiliki kebijakan yang berbeda. Beliau tidak pernah memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadits dan membukukannya sebagaimana al-Qur’an yang ditulis resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau. Bahkan, dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadits.
Larangan ini dilakukan karena khawatir hadits bercampur dengan al-Qur’an yang saat itu masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Abd Allah Ibn Umar katanya: “aku pernah menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang-orang Quraisy melarangku melakukannya. Mereka berkata: “kamu hendak menulis (hadits) padahal Rasululah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri (untuk tidak menulis hadits) hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah.
Ada sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut shahifah untuk mencatat sebagian hadits yang diterima dari Nabi. Diantara sahabat yang memiliki catatan hadits dari Nabi adalah Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash, dengan catatannya yang diberi nama al-Shadiqah. Beberapa sahabat yang juga mempunyai catatan hadits adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, Sumrah ibn Jundab, Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash, Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdullah al-Anshari dan Abdullah ibn Abi Awfa’. Catatan-catatan hadits ini merupakan dokumen bahwa pada masa Nabi telah terjadi aktivitas penulisan hadits juga dapat digunakan sebagai sarana untuk periwayatan hadits secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan hadits secara tertulis pada masa ini juga pernah dilakukan. Kebanyakan penyebaran haditsoleh para sahabat dilakukan secara lisan.
D.    HADITS PADA MASA SAHABAT BESAR (AL-KHULAFA’ AL-RASYIDIN)
Setelah Nabi wafat, para sahabat tidak dapat mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal ihwal Nabi secara langsung. Tindak-tanduk Nabi, yang pada dasarnya bermuatan ajaran ilahi, hanya dapat diketahui melalui informasi para sahabat Nabi, sebagai periwayat pertama yang menyampaikan hadits kepada umat muslim. Periwayatan hadits semenjak itu mengalami perkembangan dan melibatkan banyak pihak. Para sahabat tidak ada yang mendustakan Nabi Mereka orang-orang yang rela mengorbankan jiwa dan raga demi menegakkan agama dan membantu dakwah islam
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbutwa al-iqbalmin al-riwayah). Pada sisi yang lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Sikap hati-hati ditunjukkan oleh khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Khalifah pertama ini menunjukkan perhatian yang serius dalam memelihara hadits. Abu Bakar mengambil kebijakan memperketat periwayatan hadits dengan maksud agar hadits tidak disalahgunakan oleh kaum munafik, untuk menghindari kesalahan dan kelalaian akibat memperbanyak periwayatan hadits yang berujung pada kebohongan mengenai hadits yang mereka riwayatkan dari Nabi.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Umar bin Khattab. Seperti halnya Abu Bakar, Umar meminta diajukan saksi jika ada orang yang meriwayatkan hadits. Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu Bakar dan Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila disertai saksi atau setidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i  tidak benar karena Umar menerima beberapa hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah tertentusering kali Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang tertentu.
Baik sikap Abu Bakar maupun Umar tersebut diikuti oleh Utsman dan Ali. Selain dengan cara-cara diatas, Ali juga terkadang mengajukan sumpah kepada sahabat yang meriwayatkan hadits. Kehati-hatian para sahabat tidak berarti mereka selamanya mensyaratkan bahwa hadits dapat diterima bila diriwayatkan oleh dua orang atau lebih atau periwayatan hadits harus disertai dengan saksi dan bahkan sumpah, tetapi maksudnya mereka berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
Dengan demikian, para sahabat Nabi sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam periwayatan hadis
Sesungguhnya demikian, tidak berarti pada masa sahabat tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan hadits. Sebagai manusia yang tidak ma’shum, para sahabat meskipun secara umum memiliki jiwa yang bersih dan daya hafalan yang kuat, mereka juga dapat melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad al-Adhlabi, kekeliruan kadang terjadi pada hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang diakibatkan oleh salah satu faktor berikut:
1.      Sahabat meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari Nabi SAW, tetapi tidak tahu kalau hadits itu telah dinasakh
2.      Dalam periwayatan hadits, periwayat menyertakan komentar bersama dengan redaksi hadits sehingga diduga oleh para pendengarnya sebagai bagian dari hadits itu.
3.      Periwayat mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadits atau antara hadits satu dengan hadits lain
4.      Periwayat meriwayatkan hadits dengan redaksinya sendiri yang memiliki cakupan lebih luas dari makna yang sebenarnya bersumber dari Nabi
5.      Tidak sadar dengan pemakaian satu kata yang bukan kata asli dari Nabi yang sebenarnya memiliki perbedaan konotasi.
6.      Periwayat meriwayatkan hadits bukan pada jalur yang semestinya karenatelah lupa dengan latar belakang timbulnya hadist itu; dan
7.      Periwayat meriwayatkan hadist, secara keliru, yakni yang sebenarnya tidak bersumber dari Nabi, dikatakan berasal darinya.
Meskipun di masa khalifah yang sempat terjadi upaya pembatasan dan pengetatan dalam periwayatan hadis, tidak berarti keberadaan hadis Nabi dalam kondisi autentik dan sahih semuanya. Dalam sejarah di sebutkan, sebagaimana di sepakati ulama hadis, bahwa telah terjadi pemalsuan hadis (wadh’ al-hadits ) pada masa Ali ibn Abu Thalib (w. 40 H \ 661 M), khalifah yang keempat.

E.        HADITS PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI’IN
Sebagaimana para sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in  juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadis. Cara-cara yang di tempuh di samping yang di lakukan para sahabat benar juga berbagai cara yang sesuai hati nurani mereka dalam rangka menyampaikan hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru.[5] Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi oleh para sahabat. Pada masa ini, al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu dari pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi paraTabi’in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka. Kondisi ini juga berimplikasi pada tersebarnya hadis ke beberapa wilayah Islam. Oleh sebab itu, masa ini di kenal hadis tidak tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah di riwayatkan di berbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Pada masa kini daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping banyak pula yang masih tinggal di Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa perbendaharaan hadis yang ada pada mereka, sehingga hadis-hadis tersebar ke berbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadis, sebagaimana dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:
1.      Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘aisyah, Abu Hurayrah, Ibn “Umar , Abu Sa’id al-Khudzri, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubayr, Nafi’ Maulanibn ‘Umar, dan lain-lain.
2.      Mekkah, dengan tokoh hadis dari kalangan sahabat: Ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah ibn Sa’id, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in, tokoh hadis antara lain: Mujahid ibn Jabr, ‘Ikrimah Mawla ibn ‘Abbas, ‘AthaibnAbiRabbah, dan lan-lain.
3.      Kuffah, dengan tokoh dai kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Salman al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in: Masruq ibnal-Ajda’, Syuraikhibnal-Haris, dan lain-lain.
4.      Basrah, dengan tokoh golongan sahabat: ‘Utbah ibn Gahzwah, ‘Imran ibn Husayn, dan lain-lain. Dari kalangan tabi’in dikenal dari tokoh al-Hasanal-Basri, Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
5.      Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat: Muadz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubbadah ibn Shamit, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Abu Idris, Qabishah ibnZuaib, dan MakhulibnAbi Muslim.
6.      Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-al’Ash, ‘Uqbah ibn Amir, dan lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in: Yazid ibn Abi Hubayb, Abu Bashrahal-Ghifari,dan lain-lain.[6]
Hadis-hadis yang diterima oleh para tabi’in ini ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan da nada pula harus di hafal, di samping dalam bentuk-bentuk yang sudaah terpolahkan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat besar ini muncul kekeliruan periwayat hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah. Periwayatan tidak semata menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfu’), tetapi hadis bersumber dari sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk Islam yang mereka sadur dari pernyataan bani Israil atau shuhuf mereka sebagai bahan komparasi setelah mereka masuk Islam. Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil menimbulkan salah kutip; perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadis Nabi, atau bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi.
      Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain: pertama, periwayat hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadis. Sejak masa Rasulullah memang ada beberapa sahabat yang menulis hadis baik atas dari izin Nabi atau ditulis para amir atau pegawai, tetapi usaha penulisan belum merupakan hal biasa, bahkan umumnya para periwayat mengandalkan hafalan. Ketiga, terjadinya periwayatan secara makna yang di lakukan oleh sebagian besar sahabat dan tabi’in terbukti dengan adanya hadis atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.
      Di samping kekeliruan di atas, pada masa ini sudah mulai banyak bermunculan hadis palsu. Pemalsuan hadis yang di mulai sejak masa ‘Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak tidak menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya kekeliruan dan pemalsuan hadis di atas, para ulama melakukan beberapa yaitu: pertama, melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadis atau para periwayatnya. Kedua, hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang tsiqah saja. Ketiga, mensyaratkan tidak adanya syadz yang berupa penyimpanan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang lebih tsiqah. Keempat, untuk mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al-Hadits dan bertanya kepada sahabat yang pada waktu itu masih hidup.
           

BAB III
PENUTUP

A.  KESIMPULAN
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. Denganmemperhatikanmasa yang telahdilaluihaditssejakmasatimbulnya/lahirnya di zaman Nabi SAW. meneliti danmembinahadits.
Masa Nabi SAW dikenal dengan ‘Ashral-wahywaal-takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa ini wahyu masih turun dan masih banyak hadist-hadits Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat menyadari betapa penting kedudukan hadits Nabi dalam Agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.
Periwayatan hadits pada masa sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang. Pada satu sisi, perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbutwa al-iqbalmin al-riwayah). Pada sisi yang lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan penyebaran al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.

Hadis-hadis yang diterima oleh para tabi’inini ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan da nada pula harus di hafal, di samping dalam bentuk-bentuk yang sudaah terpolahkan dalam ibadah dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti.



[1]Muhammad Muhammad Abu ZahwdalamZarkasih, PengantarStudiHadits, Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 21
[2]Muhammad ‘Ajjaj al-KhatibdalamZarkasih, PengantarStudiHadits, Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 22
[3]Ibid., Hal 22
[4]Muhammad ‘Ajjaj al-KhatibdalamZarkasih, PengantarStudiHadits, Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 22
[5]Muhammad ‘Ajjaj al-KhatibdalamZarkasih, PengantarStudiHadits, Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 33
[6]Muhammad Muhammad Abu ZahwdalamZarkasih, PengantarStudiHadits, Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 34

DAFTAR PUSTAKA

Zarkasih, PengantarStudiHadits, Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011.
 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar