MAKALAH
STUDI HADITS
“MASA PRA
KODIFIKASI”
Dosen Pengampu :
Mahbub Junaidi, S.Th.I., M.Th.I.
Di susun oleh:
Kelompok IV
1.
Fatimatuz Zahrotin Nisa’
2.
Musfirotul Ullya
3.
Rafidatul Mu’izzah
EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN
2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat serta karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas makalah ini dalam bidang studi hadits yang bertemakan
“Masa Pra Kodifikasi”
Pembuatan makalah ini akan membantu
para mahasiswa yang ingin mengetahui proses perkembangan masa pra kodifikasi yang meliputi
masa Rasululullah SAW, Khulafaur
Rasyidin, dan Tabi’in.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan baik dari segi penulisan, isi dan sebagainya. Maka dari itu kami
memerlukan kritik dan saran sebagai bahan perbaikan dalam pemuatan makalah yang
akan datang.
Atas semua ini kami mengucapkan terimakasih
bagi segala pihak terutama kepada Bapak M. Afif Hasbullah SH., S.Ag., selaku Rektor
UNISDA, kepada Bapak Mahbub Junaidi S.Th.I M.Th.I selaku Dosen Pengampu mata kuliah
Ulumul Hadits, dan tak lupa kepada teman-teman yang mendukung dan membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Demikianlah sebagai pengantar kata, dengan iringan serta harapan semoga
tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi semua orang yang membaca makalah
ini.Khususnya bagi mahasiswa-mahasisiwi Fakultas Agama Islam. Dan untuk meningkatkan pengetahuan dan
pengembangan keterampilan kependidikan demi terciptanya generasi yang professional dan unggul.
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Islam mengenalduasumber primer
dalamperundang-undangan. Pertama, Al-Qur’an dankedua al-Hadits.
Terdapat perbedaan yang signifikan pada sisteminventarisasisumbertersebut.
Al-Qur’an sejakawalditurunkansudahadaperintahpembukuannyasecararesmi,
sehinggaterpeliharadarikemungkinanpemalsuan. Berbedadenganhadits,
takadaperlakuankhusus yang bakupadanya,
sehinggapemeliharaannyalebihmerupakanspontanitasdaninisiatif para sahabat.
Haditspadaawalnyahanyalahsebuahliteratur yang mencakupsemuaucapan,
perbuatan, danketetapanNabi Muhammad SAW. PersetujuanNabi yang
tidakdiucapkanterhadap orang-orang padazamannya,
dangambaran-gambarantentangpribadiNabi.
Mula-mulahaditsdihafalkandansecaralisandisampaikansecaraberkesinambungandarigenerasikegenerasi.
SetelahNabiwafatpadatahun 10 H.,
islammerasakankehilangan yang sangatbesar. Nabi Muhammad SAW. Yang
dianggapsebagai yang memilikiotaritasajaranislam,
dengankematiannyaumatmerasakanotoritas. Hanya Al-Qur’an
satu-satunyasumberinformasi yang tersediauntukmemecahkanberbagaipersoalan yang
muncul di tengah-tengahumatislam yang masihmudaitu, wahyu-wahyuilahi,
meskipunsudahdicatat, belumdisusundenganbaik,
danbelumdapatdiperolehatautersediasecaramateriilketikaNabiMuahammad SAWwafat.
Wahyu-wahyudalam Al-Qur’an yang sangatsedikitsekalimengandungpetunjuk yang
praktisuntukdijadikanprinsippembimbing yang umumdalamberbagaiaktivitas.
Khalifah-khalifahawalmembimbingkaummuslimdengansemangatNabi,
meskipunterkadangbersandarpadapenilaianpribadimereka. Namun, setelahbeberapa
lama, ketikamunculkesulitan-kesulitan yang tidakdapatlagimerekapecahkansendiri,
merekamulaimenjadikansunnah, seperti yang
merupakankebiasaanperilakuNabisebagaiacuandancontohdalammemutuskansuatumasalah.
Sunnah yang hanyaterdapatdalamhafalan-hafalansahabattersebutdijadikansebagaibagiandarireferensipentingsetelah
Al-Qur’an. Bentuk-bentukkumpulanhafalaninilah yang kemudiandisebutdenganhadits.
B. RUMUSAN
MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan sejarah perkembangan hadits ?
2.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits nabi ?
3.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Nabi?
4.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Besar (al-Khulafa’
al-Rasyidin?
5.
Bagaimana sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Kecil danTabi’in?
C. TUJUAN
PENULISAN
1.
Mengetahuipengertiansejarahperkembanganhadits
2.
Mengetahuisejarahperkembanganhaditsnabi
3.
Mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Nabi
4.
Mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Besar (al-Khulafa’
al-Rasyidin
5.
Mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat Kecil dan Tabi’in
BAB
II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN
SEJARAH PERKEMBANGAN HADITS
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang
telah dilalui dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan,
dan pengalaman umat dari generasi ke generasi. Dengan memperhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa timbulnya/lahirnya
di zaman Nabi SAW. meneliti dan membina hadits.
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN HADITS
Berdasarkan referensi yang kami dapat dalam buku pengantar studi hadits sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits Nabi dapat diklasifiksikan dalam beberapa periode.
T. Muhammad Hasbi ash Shiddieqy membaginya menjadi tujuh periode, yaitu
1.
Hadits pada masa Nabi
2.
Hadits pada masa Sahabat Besar (Khulafa’ al Rasyidin)
3.
Hadits pada masa sahabat kecil dan Tabi’in
4.
Hadits pada masa Kodifikasi
5.
Hadits pada masa awal-akhir abad III H
6.
Hadits pada abad IV sampai pertengahan abad VII (jatuhnya
Baghdad tahun 656 H)
7.
Hadits pada masa pertengahan abad VII sampai sekarang
C. HADITS
PADA MASA NABI
Masa
Nabi SAW dikenal dengan ‘Ashr al-wahy wa al-takwin, yaitu masa wahyu dan
pembentukan karena pada masa ini wahyu masih turun dan masih banyak
hadist-hadits Nabi yang datang darinya. Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits
Nabi menjadi penyejuk dan sumber kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak
pernah mereka temukan pada masa jahiliah. Para sahabat menyadari betapa penting
kedudukan hadits Nabi dalam Agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar
kedua setelah al-Qur’an, orang yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka
dan orang yang mengamalkannya akan mendapat kebahagiaan.[1]
Tradisi meriwayatkan segala yang dikatakan atau dilakukan Nabi
baik yang terkait dengan masyarakat umum maupun yang khusus berkenaan dengan
hal-hal pribadi telah terjadi semenjak awal islam. Sebagai figur, Nabi menjadi
pusat perhatian, dalam kapasitas sebagai pemimpin, teladan, dan penyampai
syariat Allah yang hampir semua perkataan dan perilakunya bermuatan hukum,[2] kecuali sebagian yang
terkait dengan urusan duniawi. Kebiasaan menghargai segala yang berasal dari
Nabi terlihat pada banyaknya para sahabat, di tengah-tengah kesibukan mereka
memenuhi kebutuhan hidup, menghadiri majelis Nabi, sebagian tinggal beberapa
saat atau dalam waktu yang lama bersamanya, mendiskusikan dan menelaah secara
kritis hadits-hadits yang mereka terima.[3] Jika terjadi persoalan
yang menyangkut kebenaran hadits yang mereka terima, mereka dapat langsung
mengecek kebenarannya kepada Nabi karena beliau berada bersama, bergaul dan
bermuamalah dengan mereka, sehingga bila terjadi kesalahan penukilan,
kekeliruan pengucapan, atau kekurangpahaman terhadap makna teks hadits, dapat
dirujuk pada Nabi.
Ada
beberapa teknik atau cara yang ditempuh Nabi dalam menyampaikan hadits kepada
para sahabat, yang disesuaikan dengan kondisi para sahabatnya. Cara tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Melalui
majlis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk
membina para jamaah. Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang
untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan
diri untuk mengikuti kegiatannya. Periwayatan hadits melalui majlis ini
dilakukan secara reguler dimana para sahabat begitu antusias mengikuti kegiatan
dimajlis ini.[4]
2. Dalam
banyak kesempatan Rasulullah juga menyampaikan haditsnya melalui para sahabat
tertentu yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang
lain. Hal ini karena terkadang ketika Nabi menyampaikan suatu hadits, para
sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh
Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa
orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
3. Untuk
hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keluarga dan kebutuhan
biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan
melalui istri-istrinya.
4. Melalui
ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti ketika futuh mekkah dan haji
wada’. Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan
khatbah sejarah didepan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji,
yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak
asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, persahabatan, keadilan sosial,
keadilan ekonomi, kebajikan dan solidaritas.
5. Melalui
perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan
musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan
berita itu tersebar dikalangan umat islam.
Pada
masa Nabi, sedikit sekali sahabat yang dapat menulis, sehingga yang menjadi
andalan mereka dalam menerima hadits adalah dengan ingatan mereka. Menurut
Abdal-Nahsr, Allah telah
memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan
menghafal. Mereka dapat meriwayatkan al-Qur’an, hadits, syair, dan lain-lain
dengan baik. Seakan mereka membaca
dari buku.
Untuk
memelihara kemurnian kedua sumber ajaran agama islam, yakni al-Qur’an dan
Hadits, Rasulullah memiliki kebijakan yang berbeda. Beliau tidak pernah
memerintah sahabat tertentu untuk menulis hadits dan membukukannya sebagaimana
al-Qur’an yang ditulis resmi oleh Zayd ibn Tsabit, sekretaris pribadi beliau.
Bahkan, dalam suatu kesempatan Nabi pernah melarang menulis hadits.
Larangan
ini dilakukan karena khawatir hadits bercampur dengan al-Qur’an yang saat itu
masih dalam proses penurunan. Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan
oleh Abd Allah Ibn Umar
katanya: “aku pernah menulis segala sesuatu yang kudengar dari Rasulullah, aku
ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang-orang Quraisy melarangku
melakukannya. Mereka berkata: “kamu hendak menulis (hadits) padahal Rasululah
bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri (untuk
tidak menulis hadits) hingga aku ceritakan hal itu kepada Rasulullah.
Ada
sebagian sahabat yang memiliki catatan yang disebut shahifah untuk mencatat
sebagian hadits yang diterima dari Nabi. Diantara sahabat yang memiliki catatan
hadits dari Nabi adalah Abdullah ibn Amr ibn al-‘Ash, dengan catatannya yang
diberi nama al-Shadiqah. Beberapa sahabat yang juga mempunyai catatan hadits
adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, Sumrah ibn Jundab, Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash,
Abdullah ibn Abbas, Jabir ibn Abdullah al-Anshari dan Abdullah ibn Abi Awfa’.
Catatan-catatan hadits ini merupakan dokumen bahwa pada masa Nabi telah terjadi
aktivitas penulisan hadits juga dapat digunakan sebagai sarana untuk
periwayatan hadits secara tertulis. Meskipun jarang, periwayatan hadits secara
tertulis pada masa ini juga pernah dilakukan. Kebanyakan penyebaran haditsoleh
para sahabat dilakukan secara lisan.
D.
HADITS
PADA MASA SAHABAT BESAR (AL-KHULAFA’ AL-RASYIDIN)
Setelah Nabi wafat, para sahabat
tidak dapat mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan, dan hal
ihwal Nabi secara langsung. Tindak-tanduk Nabi, yang pada dasarnya bermuatan
ajaran ilahi, hanya dapat diketahui melalui informasi para sahabat Nabi,
sebagai periwayat pertama yang menyampaikan hadits kepada umat muslim.
Periwayatan hadits semenjak itu mengalami perkembangan dan melibatkan banyak
pihak. Para sahabat tidak ada yang mendustakan Nabi Mereka orang-orang yang
rela mengorbankan jiwa dan raga demi menegakkan agama dan membantu dakwah islam
Periwayatan hadits pada masa
sahabat terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H,
yang disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang. Pada satu sisi,
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini
disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbutwa al-iqbalmin al-riwayah).
Pada sisi yang lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan
penyebaran al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana
halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat
berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Sikap hati-hati ditunjukkan oleh
khalifah pertama, Abu Bakar al-Shiddiq. Khalifah pertama ini menunjukkan
perhatian yang serius dalam memelihara hadits. Abu Bakar mengambil kebijakan
memperketat periwayatan hadits dengan maksud agar hadits tidak disalahgunakan
oleh kaum munafik, untuk menghindari kesalahan dan kelalaian akibat
memperbanyak periwayatan hadits yang berujung pada kebohongan mengenai hadits
yang mereka riwayatkan dari Nabi.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh
Umar bin Khattab. Seperti halnya Abu Bakar, Umar meminta diajukan saksi jika
ada orang yang meriwayatkan hadits. Sebagian ahli hadits mengemukakan bahwa Abu
Bakar dan Umar menggariskan bahwa hadits dapat diterima apabila disertai saksi
atau setidaknya periwayat berani bersumpah. Pendapat ini menurut al-Siba’i tidak benar karena Umar menerima beberapa
hadits meskipun hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat hadits. Untuk masalah
tertentusering kali Umar juga menerima periwayatan tanpa saksi dari orang
tertentu.
Baik sikap Abu Bakar maupun Umar
tersebut diikuti oleh Utsman dan Ali. Selain dengan cara-cara diatas, Ali juga
terkadang mengajukan sumpah kepada sahabat yang meriwayatkan hadits.
Kehati-hatian para sahabat tidak berarti mereka selamanya mensyaratkan bahwa
hadits dapat diterima bila diriwayatkan oleh dua orang atau lebih atau
periwayatan hadits harus disertai dengan saksi dan bahkan sumpah, tetapi
maksudnya mereka berhati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits.
Dengan demikian, para sahabat Nabi
sangat kritis dan hati-hati dalam periwayatan hadits. Tradisi kritis dikalangan
sahabat menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang kebenaran dalam
periwayatan hadis
Sesungguhnya demikian,
tidak berarti pada masa sahabat tidak terjadi kekeliruan dalam periwayatan
hadits. Sebagai manusia yang tidak ma’shum, para sahabat meskipun secara umum
memiliki jiwa yang bersih dan daya hafalan yang kuat, mereka juga dapat
melakukan kesalahan dalam meriwayatkan hadits. Menurut Shalah al-Din Ibn Ahmad
al-Adhlabi, kekeliruan
kadang terjadi pada hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang
diakibatkan oleh salah satu faktor berikut:
1. Sahabat
meriwayatkan hadits yang didengar langsung dari Nabi SAW, tetapi tidak tahu
kalau hadits itu telah dinasakh
2. Dalam
periwayatan hadits, periwayat menyertakan komentar bersama dengan redaksi
hadits sehingga diduga oleh para pendengarnya sebagai bagian dari hadits itu.
3. Periwayat
mengalami kekeliruan dalam letak suatu kata dalam hadits atau antara hadits
satu dengan hadits lain
4. Periwayat
meriwayatkan hadits dengan redaksinya sendiri yang memiliki cakupan lebih luas
dari makna yang sebenarnya bersumber dari Nabi
5. Tidak
sadar dengan pemakaian satu kata yang bukan kata asli dari Nabi yang sebenarnya
memiliki perbedaan konotasi.
6. Periwayat
meriwayatkan hadits bukan pada jalur yang semestinya karenatelah lupa dengan
latar belakang timbulnya hadist itu; dan
7. Periwayat
meriwayatkan hadist, secara keliru, yakni yang sebenarnya tidak bersumber dari
Nabi, dikatakan berasal darinya.
Meskipun
di masa khalifah yang sempat terjadi upaya pembatasan dan pengetatan dalam periwayatan hadis, tidak
berarti keberadaan hadis Nabi dalam kondisi autentik dan sahih semuanya. Dalam
sejarah di sebutkan, sebagaimana di sepakati ulama hadis, bahwa telah terjadi
pemalsuan hadis (wadh’ al-hadits )
pada masa Ali ibn Abu Thalib (w. 40 H \ 661 M), khalifah yang keempat.
E.
HADITS
PADA MASA SAHABAT KECIL DAN TABI’IN
Sebagaimana
para sahabat besar, para sahabat kecil dan tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan
hadis. Cara-cara yang di tempuh di samping yang di lakukan para sahabat benar
juga berbagai cara yang sesuai hati nurani mereka dalam rangka menyampaikan
hadis pada generasi berikutnya secara benar dan tidak keliru.[5] Hanya saja, beban mereka
tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi oleh para sahabat.
Pada masa ini, al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak
lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu dari pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah
‘Utsman bin Affan) para sahabat ahli hadis telah menyebar ke beberapa wilayah
kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi paraTabi’in untuk mempelajari hadis-hadis dari mereka. Kondisi ini juga
berimplikasi pada tersebarnya hadis ke beberapa wilayah Islam. Oleh sebab itu,
masa ini di kenal hadis tidak tidak lagi hanya terpusat di Madinah tetapi sudah
di riwayatkan di berbagai daerah dengan para sahabat sebagai tokoh-tokohnya.
Pada
masa kini daerah kekuasaan Islam semakin luas. Banyak sahabat ataupun tabi’in yang pindah dari Madinah ke
daerah-daerah yang baru dikuasai, di samping banyak pula yang masih tinggal di
Madinah dan Mekkah. Para sahabat pindah ke daerah baru disertai dengan membawa
perbendaharaan hadis yang ada pada mereka, sehingga hadis-hadis tersebar ke
berbagai daerah. Kemudian bermunculan sentra-sentra hadis, sebagaimana
dikemukakan Muhammad Abu Zahw, yaitu:
1.
Madinah, dengan tokoh
dari kalangan sahabat: ‘aisyah, Abu Hurayrah, Ibn “Umar , Abu Sa’id al-Khudzri,
dan lain-lain. Tokoh dari kalangan
tabi’in: Sa’id ibn Musayyib, ‘Urwah ibn Zubayr, Nafi’ Maulanibn ‘Umar, dan
lain-lain.
2.
Mekkah, dengan tokoh
hadis dari kalangan sahabat: Ibn ‘Abbas, ‘Abd Allah ibn Sa’id, dan lain-lain.
Dari kalangan tabi’in, tokoh hadis
antara lain: Mujahid ibn Jabr, ‘Ikrimah Mawla ibn ‘Abbas, ‘AthaibnAbiRabbah,
dan lan-lain.
3.
Kuffah, dengan tokoh
dai kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Mas’ud, Sa’ad ibn Abi Waqqas dan Salman
al-Farisi. Tokoh dari kalangan tabi’in:
Masruq ibnal-Ajda’, Syuraikhibnal-Haris, dan lain-lain.
4.
Basrah, dengan tokoh
golongan sahabat: ‘Utbah ibn Gahzwah, ‘Imran ibn Husayn, dan lain-lain. Dari
kalangan tabi’in dikenal dari tokoh
al-Hasanal-Basri, Abu al-‘Aliyah, dan lain-lain.
5.
Syam, dengan tokoh dari
kalangan sahabat: Muadz ibn Jabal, Abu al-Darda’, ‘Ubbadah ibn Shamit, dan
lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in:
Abu Idris, Qabishah ibnZuaib, dan MakhulibnAbi Muslim.
6.
Mesir, dengan tokoh
dari kalangan sahabat: ‘Abd Allah ibn Amr ibn al-al’Ash, ‘Uqbah ibn Amir, dan
lain-lain. Tokoh dari kalangan tabi’in:
Yazid ibn Abi Hubayb, Abu Bashrahal-Ghifari,dan lain-lain.[6]
Hadis-hadis
yang diterima oleh para tabi’in ini
ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan da nada pula harus
di hafal, di samping dalam bentuk-bentuk yang sudaah terpolahkan dalam ibadah
dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti. Kedua bentuk
ini saling melengkapi, sehingga tidak ada satu hadis pun yang tercecer atau
terlupakan. Sungguhpun demikian, pada masa pasca-sahabat besar ini muncul
kekeliruan periwayat hadis ketika kecermatan dan sikap hati-hati melemah.
Periwayatan tidak semata menyangkut hadis-hadis yang berasal dari Nabi (marfu’), tetapi hadis bersumber dari
sahabat (mawquf) dan tabi’in (maqthu’) bahkan pernyataan beberapa ahli kitab yang telah masuk
Islam yang mereka sadur dari pernyataan bani Israil atau shuhuf mereka sebagai bahan komparasi setelah mereka masuk Islam.
Dari sekian pernyataan yang memiliki beragam sumber ini, tidak mustahil
menimbulkan salah kutip; perkataan sahabat dinyatakan sebagai hadis Nabi, atau
bahkan perkataan ahli kitab sebagai sabda Nabi.
Faktor-faktor penyebab terjadinya kekeliruan
pada masa setelah sahabat itu antara lain: pertama,
periwayat hadis sebagaimana manusia lain tidak terlepas dari unsur kekeliruan. Kedua, terbatasnya penulisan dan
kodifikasi hadis. Sejak masa Rasulullah memang ada beberapa sahabat yang
menulis hadis baik atas dari izin Nabi atau ditulis para amir atau pegawai,
tetapi usaha penulisan belum merupakan hal biasa, bahkan umumnya para periwayat
mengandalkan hafalan. Ketiga, terjadinya
periwayatan secara makna yang di lakukan oleh sebagian besar sahabat dan tabi’in terbukti dengan adanya hadis
atau kisah yang sama tetapi memiliki redaksi yang beragam.
Di samping kekeliruan di atas, pada masa
ini sudah mulai banyak bermunculan hadis palsu. Pemalsuan hadis yang di mulai
sejak masa ‘Ali ibn Abi Thalib terus berlanjut dan semakin banyak tidak
menyangkut urusan politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya kekeliruan
dan pemalsuan hadis di atas, para ulama melakukan beberapa yaitu: pertama, melakukan seleksi dan koreksi
oleh tentang nilai hadis atau para periwayatnya. Kedua, hanya menerima riwayat hadis dari periwayat yang tsiqah saja. Ketiga, mensyaratkan tidak adanya syadz yang berupa penyimpanan periwayat tsiqah terhadap periwayat lain yang
lebih tsiqah. Keempat, untuk
mengidentifikasi hadis palsu, mereka meneliti sanad dan rijal al-Hadits dan
bertanya kepada sahabat yang pada waktu itu masih hidup.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang
telah dilalui dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengetahuan, penghayatan, dan pengalaman umat dari generasi ke generasi.
Denganmemperhatikanmasa yang telahdilaluihaditssejakmasatimbulnya/lahirnya di
zaman Nabi SAW. meneliti danmembinahadits.
Masa Nabi SAW dikenal dengan
‘Ashral-wahywaal-takwin, yaitu masa wahyu dan pembentukan karena pada masa ini
wahyu masih turun dan masih banyak hadist-hadits Nabi yang datang darinya.
Ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi menjadi penyejuk dan sumber
kebahagiaan para sahabat Nabi yang tidak pernah mereka temukan pada masa
jahiliah. Para sahabat menyadari betapa penting kedudukan hadits Nabi dalam
Agama Islam, bahwa sunnah Nabi merupakan pilar kedua setelah al-Qur’an, orang
yang meremehkan dan mengingkarinya akan celaka dan orang yang mengamalkannya
akan mendapat kebahagiaan.
Periwayatan hadits pada masa sahabat
terutama masa al-Khulafa’ al-Rasyidin sejak tahun 11 H sampai 40 H, yang
disebut juga masa sahabat besar, belum begitu berkembang. Pada satu sisi,
perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
al-Qur’an dan mereka berusaha membatasi periwayatan hadits tersebut. Masa ini
disebut dengan masa pembatasan dan memperketat periwayatan (al-tatsabbutwa al-iqbalmin al-riwayah).
Pada sisi yang lain, meskipun perhatian sahabat terpusat pada pemeliharaan dan
penyebaran al-Qur’an, tidak berarti mereka tidak memegang hadits sebagaimana
halnya yang mereka terima secara utuh ketika Nabi masih hidup. Mereka sangat
berhati-hati dan membatasi diri dalam meriwayatkan hadits itu.
Hadis-hadis
yang diterima oleh para tabi’inini
ada yang dalam bentuk catatan-catatan atau tulisan-tulisan da nada pula harus
di hafal, di samping dalam bentuk-bentuk yang sudaah terpolahkan dalam ibadah
dan amaliah para sahabat yang mereka saksikan dan mereka ikuti.
[1]Muhammad
Muhammad Abu ZahwdalamZarkasih, PengantarStudiHadits,
Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 21
[2]Muhammad
‘Ajjaj al-KhatibdalamZarkasih, PengantarStudiHadits,
Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 22
[3]Ibid.,
Hal 22
[4]Muhammad
‘Ajjaj al-KhatibdalamZarkasih, PengantarStudiHadits,
Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 22
[5]Muhammad
‘Ajjaj al-KhatibdalamZarkasih, PengantarStudiHadits,
Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 33
[6]Muhammad
Muhammad Abu ZahwdalamZarkasih, PengantarStudiHadits,
Yogyakarta: AswajaPressindo, 2011, Hal 34
DAFTAR
PUSTAKA
Zarkasih,
PengantarStudiHadits, Yogyakarta:
AswajaPressindo, 2011.
http://windahidayatulh2393.blogspot.co.id/2013/04/makalah-ulumul-hadits-sejarah.html
(diaksesTanggal 22 Oktober 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar